
CiremaiNews.com, Cerpen - Malam masih belum berakhir, waktu menunjukan pukul 03 dini hari. Di sebuah ruang bersalin Tarno, lelaki berusia 40 tahun yang bekerja sebagai buruh bangunan di Tanggerang terlihat bersedih. Wajahnya kuyu oleh lelah dan kebingungan yang panjang.
Dipandang wajah istrinya Aminah, perempuan berkulit sawo matang dengan mata bulat itu masih terlelap oleh pengaruh obat, sedang di bawah dilihat kedua anak sambungnya juga masih terlelap di atas selembar tikar dari jalinan plastik pembungkus kopi, hasil kerajinan tangan istrinya.
Masih terpikir olehnya saat tadi malam ia terpaksa pulang untuk mengantar jenazah bayinya dan menyimpannya di kulkas, karena harus segera kembali ke rumah sakit untuk menunggui istri dan dua balitanya yang sedang tertidur. Di Tanggerang Tarno hanya perantau dari Jawa begitu juga istrinya. Tak punya sanak dan sodara, sedangkan untuk meminta bantuan tetangga mengurus jenazah bayinya Tarno juga sungkan.
Pagi beranjak pergi, siang pun datang, setelah Tarno selesai mengurus semua kebutuhan istri dan dua balitanya di rumah sakit. Ia berpamitan untuk segera mengurus jenazah bayinya. Aminah hanya bisa mengangguk lemah. Apakah ini kesalahannya karena lupa meminum pil KB akhirnya bayi itu hadir pun dalam kondisi yang sudah tak bernyawa.

“Ini salahku, Mas.”
Aminah lirih dengan rasa bersalah mendera, air mata pun deras membasahi pipinya yang cekung.
Tarno membelai bahu istrinya sembari tersenyum lembut. Tak ada kata-kata dari mulutnya, pikirannya terlalu gelisah mengingat jenazah bayinya. Setelah berpamitan pada istrinya dan pulang dengan sisa uang di sakunya yang hanya cukup untuk naik angkot.
Sesampainya di depan gang menuju rumahnya, dia berpapasan dengan Pak RT Rahmat yang sedang menyapu di halaman rumahnya.
“Pagi, Mas Tarno,” sapa Pak RT Rahmat ramah
“Pagi, Pak RT,” jawab Tarno dengan suaranya yang terdengar lemah
“Dari mana, Mas Tarno.”
“Rumah sakit, Pak,” jawab Tarno dengan langkah makin tergesa.
“Eh, siapa yang sakit?”
“Apa istri Mas Tarno sudah melahirkan?”
Pertanyaan yang memberondong itu seolah tak terdengar, Tarno terus saja berjalan menuju rumahnya. Tanpa sepengetahuan Tarno, Pak RT mengikutinya dari belakang, merasa heran dengan sikap Tarno yang tidak biasanya.
Sesampainya di rumah, Tarno segera menuju kulkas untuk mengecek jenazah bayinya. Saat Tarno mengeluarkan bayinya dari kulkas, tiba-tiba terdengar suara memekik.
“Astaghfirullah, Tarno! Suara jerit Pak RT mengagetkan Tarno, wajahnya sontak terlihat pasi
“Pak RT, maaf pak. Saya ingin menguburkan segera jenazah anak saya, bisa tolong bantu, pak?”
Rupanya suara jerit Pak RT yang kaget, terdengar oleh Bu Darna, tetangga kontrakan Tarno. Wanita setengah baya, bertubuh tambun dengan kesukaan ghibahnya, diam-diam mencuri dengar perbincangan Pak RT dan Tarno.
Sementara itu Pak RT Rahmat segera membantu Tarno mengurus jenazah bayinya, dia memberikan segala kebutuhan untuk jenazah bayinya. Beberapa tetangga yang tahu kabar duka itu, segera membantu.
Sesaat ketika jenazah hendak dibawa ke pemakaman umum. Tiba-tiba sebuah mobil polisi datang tepat di depan rombongan pembawa jenazah. Seorang petugas berseragam segera menghentikan langkah mereka dan memberi hormat.
“Sodara Tarno,” tanyanya sambil mencari-cari
“Saya, Pak,” jawab Tarno kebingungan
“Anda, kami tahan. Ada laporan bahwa anda telah menyembunyikan mayat dalam freezer.”
Polisi itu segera saja hendak memborgol tangan Tarno setelah sebelumnya menunjukan surat penahanan.
“Baik, Pak. Saya akan patuhi permintaan Pak Polisi, tapi ijinkan saya menguburkan jenazah anak saya terlebih dulu.”
“Baiklah, tapi nanti. Setelah pihak kami selesai melakukan beberapa pemeriksaan pada jenazah bayi, anda.”
Langit siang itu tiba-tiba mendung, tak lama tetes jernih itu berjatuhan satu persatu. Langit seperti mengerti, berlapis duka yang dirasakan Tarno. Air mata kehilangan bertumpuk dengan selembar kenyataan yang tak pernah bisa dipahaminya. Bayangan penjara serta wajah istrinya dan dua anak sambungnya terlantar, makin lekat di pelupuk mata. (Vera)
Kuningan, 30 November 2023