
CiremaiNews.com, Kuningan – Proses seleksi Sekretaris Daerah (Sekda), yang seharusnya menjadi ajang profesionalisme dan integritas di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN), kini dituding telah ternoda oleh praktik-praktik mirip kontestasi politik. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa sejumlah calon Sekda sudah membentuk tim sukses bahkan menggelontorkan dana pribadi demi “operasional pemenangan”.
Seleksi jabatan karier yang mestinya steril dari aroma politik kini perlahan menyerupai pemilihan kepala daerah. Bukan hanya menyiapkan makalah visi dan misi, para calon dikabarkan telah menyusun strategi pemenangan, menyewa konsultan, hingga menyiapkan amplop-amplop sebagai “penguat niat”. Tak berlebihan jika ke depan muncul baliho bertuliskan: “Calon Sekda – Berpengalaman, Berkoneksi, Siap Modal.”
“Dalam logika politik, membentuk tim sukses dan mengeluarkan dana adalah hal lumrah. Namun, dalam ranah birokrasi, ini merupakan anomali,” ujar seorang pengamat. Ia menambahkan bahwa praktik ini bisa membuka jalan bagi nepotisme, balas budi jabatan, dan manipulasi kebijakan yang merugikan publik.
Menariknya, tim sukses para calon bukan berasal dari partai atau kalangan aktivis, melainkan jaringan internal birokrasi sendiri. Tugasnya pun beragam, mulai dari melobi pejabat, mengatur narasi di media, hingga ‘mengondisikan’ suasana hati para pengambil keputusan.
Pengamat itu juga menegaskan bahwa jabatan Sekda bukan milik pribadi kepala daerah, melainkan jabatan publik. “Publik harus diberi ruang untuk menilai calon Sekda,” ujarnya.
Pasalnya, Sekda memiliki peran strategis sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), Ketua Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat), hingga Ketua Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD). Dengan kata lain, Sekda berperan besar dalam mengatur kehidupan masyarakat, khususnya di wilayah Jawa Barat.
Oleh karena itu, menurutnya, penting melibatkan berbagai elemen masyarakat—termasuk akademisi, pengusaha, hingga petani—dalam proses pendalaman kemampuan calon Sekda. “Rakyat harus tahu isi otak dari calon Sekda, karena APBD yang mereka kelola berasal dari pajak rakyat.”
Ia pun mengingatkan akan bahaya jika jabatan Sekda diduduki oleh sosok yang naik dengan cara transaksional.
“Kalau begitu, kita bukan sedang memilih pemimpin birokrasi, tapi melantik bendahara politik. Tujuannya bukan untuk melayani publik, melainkan mengembalikan modal dan memperkuat jaringan,” pungkasnya.
Jika dibiarkan, bukan tak mungkin anggaran daerah akan berubah menjadi return on investment politik, dan bukan lagi alat untuk membangun kesejahteraan masyarakat. [Dewi Sartika]
Very good https://lc.cx/xjXBQT
Awesome https://lc.cx/xjXBQT
Good https://rb.gy/4gq2o4
Good https://is.gd/N1ikS2
Good https://is.gd/N1ikS2
Awesome https://is.gd/N1ikS2