CiremaiNews.com, Kuningan – Kabar duka menyelimuti masyarakat Kuningan dengan wafatnya Pangeran Djatikusumah, atau yang lebih dikenal sebagai Rama Djati, pada Jumat (16/05/2025) dalam usia 93 tahun. Kepergian beliau meninggalkan kekosongan yang mendalam bagi keluarga, masyarakat adat, dan bangsa yang telah banyak belajar dari kearifan dan kebijaksanaan beliau.
Rama Djati dikenal luas sebagai tokoh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, seorang guru kehidupan yang dengan tekun menyalakan semangat pencarian makna, kebijaksanaan, dan kesadaran spiritual. Dalam setiap langkahnya, ia menekankan pentingnya mengejar kekayaan batin.
“Beliau selalu berkata bahwa kekayaan sejati adalah kebijaksanaan, ketulusan, dan rasa syukur. Bukan harta benda,” tutur Ratu Emalia Wigarningsih Djatikusumah, sang istri.
Selama hidupnya, Rama Djati begitu menjunjung tinggi pelestarian budaya leluhur. Upacara Seren Taun, misalnya, menjadi ruang penting baginya untuk menguatkan kembali akar budaya bangsa.
“Bagi Rama, Seren Taun bukan hanya syukur atas panen. Itu cara kita menjaga warisan para karuhun, memperkuat jati diri bangsa melalui kearifan lokal,” ungkap salah satu tokoh Paseban.
Ratu Emalia mengenang, pesan terakhir sang suami adalah agar masyarakat adat tidak kehilangan jati dirinya. “Jangan dilupakan yang namanya Akur Sunda Wiwitan. Itu adalah pesan dari para leluhur,” katanya lirih.
Pangeran Djatikusumah telah delapan tahun menderita sakit sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhir dalam damai di kediamannya. Putra keempatnya, Gumirat Barna Alam, atau Rama Anom, menjelaskan bahwa kondisi kesehatan almarhum sempat memburuk akibat infeksi saluran pernapasan yang berkembang menjadi pembengkakan jantung.
“Dokter rumah sakit Belanda sempat memeriksa beliau. Karena kondisi khusus, ayah dirawat intensif di rumah, dengan tim medis hadir 24 jam selama lima hari terakhir. Kami sangat berterima kasih atas perhatian dan kasih sayang dari tim medis,” ujar Rama Anom.
Dalam kenangan keluarga, Rama Djati adalah tokoh besar yang memperjuangkan hak dan kesetaraan masyarakat adat. Ia dikenal sebagai salah satu pendiri Indigenous Peoples Conference of Indonesia, dan aktif dalam berbagai forum internasional, termasuk di PBB dan Thailand.
“Beliau pernah bersama Presiden Abdurrahman Wahid dan Ibu Megawati dalam memperjuangkan eksistensi masyarakat adat di level global,” kenang Rama Anom.
Di masa hidupnya, Pangeran Djatikusumah meninggalkan warisan yang tak ternilai—bukan hanya melalui delapan anak, 21 cucu, dan sembilan buyutnya, tapi juga melalui semangat pelestarian budaya dan kebebasan berkeyakinan yang terus menginspirasi.
Rencananya, beliau akan dimakamkan secara adat pada Minggu (18/5/2025) di Batu Satangtung, Curug Goong, Kecamatan Cigugur. Rumah duka telah dipenuhi oleh tokoh masyarakat, pejabat publik, dan warga dari berbagai penjuru yang datang menyampaikan duka cita.
Meski raganya telah tiada, ajaran dan semangat Rama Djati akan terus menjadi suluh menyinari jalan bagi generasi penerus yang ingin kembali “mulih ka jati, mulang ka asal.”






