CiremaiNews , Kuningan — Lebih dari 12.000 pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sektor olahan di Kabupaten Kuningan berpotensi tidak mendapatkan manfaat ekonomi dari program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Hal itu diungkapkan Kepala Bidang UMKM dan Perindustrian Diskopdagperin Kuningan, Alvin Fitranda, dalam forum diskusi publik Ruang Beritaku yang menyoroti persoalan koordinasi dan kesiapan legalitas pelaku usaha lokal.
“Dari total sekitar 42.900 UMKM di Kuningan, sekitar 30 persen atau 12 ribu bergerak di sektor olahan. Namun sebagian besar belum masuk ke rantai pasok MBG karena persoalan legalitas dan koordinasi,” ujar Alvin, Rabu (15/10/2025).
Menurut Alvin, skema MBG yang saat ini dijalankan pemerintah daerah lebih menitikberatkan pada penyediaan makanan utama melalui dapur atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Sementara itu, produk olahan lokal seperti keripik, kue kering, minuman jeruk, dan olahan buah belum banyak terserap.
Diskopdagperin kini mendorong agar produk-produk tersebut diintegrasikan sebagai menu pendamping atau snack dalam distribusi gizi harian MBG. Langkah ini dinilai penting agar potensi ekonomi lokal bisa ikut berputar.
Berdasarkan data Diskopdagperin, baru sekitar 7.000 UMKM di Kuningan yang memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), atau hanya 16 persen dari total keseluruhan pelaku usaha. Kondisi ini menjadi salah satu penghambat utama bagi pelaku UMKM untuk ikut terlibat dalam proyek MBG.
Alvin menegaskan bahwa terdapat tiga aspek kesiapan yang harus dipenuhi agar UMKM bisa bermitra dalam program MBG, yaitu legalitas usaha dan pangan, kapasitas produksi, serta kejelasan skema pembayaran. Ia menyebut legalitas menjadi fondasi utama karena tanpa NIB dan izin edar pangan seperti PIRT, UMKM tidak dapat masuk ke sistem. Selain itu, kapasitas produksi harus dijaga agar tidak terjadi kekurangan suplai dan fluktuasi harga bahan baku.
Dari sisi finansial, Alvin menjelaskan perlunya kesiapan mental dan keuangan karena pembayaran tagihan bisa dilakukan satu bulan setelah proses penagihan.
“Kami harus jujur dari awal. Kalau mereka tidak siap secara kapasitas dan keuangan, nanti malah berhenti di tengah jalan,” kata Alvin menegaskan.
Diskopdagperin juga mendorong adanya integrasi sistem digital real-time antara pemerintah daerah, dapur MBG, dan pelaku UMKM. Dengan sistem tersebut, data produk lokal yang sudah memenuhi standar dapat langsung diakses dan dipesan oleh pihak dapur MBG, sehingga distribusi dana program lebih tepat sasaran.
“Kalau sistemnya terhubung, UMKM olahan Kuningan bisa ikut menikmati manfaat program MBG. Tidak hanya penyedia masakan yang diuntungkan,” tambah Alvin.
Dari total 42.900 UMKM, sektor olahan merupakan penyumbang utama tenaga kerja non-formal dan memiliki nilai tambah tinggi. Namun, tanpa integrasi kebijakan dan perbaikan tata kelola, lebih dari 12 ribu pelaku usaha berisiko ‘gigit jari’ karena tidak masuk ke rantai ekonomi program MBG.






