CiremaiNews, Kuningan – Klaim pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kuningan sebesar 10,4 persen pada triwulan II tahun 2025 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) memantik tanggapan kritis dari kalangan legislatif.
Anggota DPRD Kabupaten Kuningan dari Fraksi PKS, Yaya, menilai capaian tersebut memang sah secara metodologis, namun perlu ditafsirkan dengan bijak agar tidak menimbulkan euforia semu di tengah kondisi sosial masyarakat yang masih rentan.
“Pertumbuhan ekonomi 10,4 persen itu tidak salah, karena dihitung berdasarkan rumus resmi dan standar nasional. Tapi kita harus hati-hati dalam menafsirkan maknanya. Angka pertumbuhan tinggi belum tentu sejalan dengan kesejahteraan masyarakat di lapangan,” ujar Yaya, Rabu (5/11/2025).
Menurut BPS, laju pertumbuhan tersebut dihitung berdasarkan kenaikan nilai tambah seluruh sektor ekonomi—mulai dari pertanian, industri, perdagangan, jasa hingga konstruksi—dengan harga konstan agar tidak terpengaruh inflasi. Secara teknis, angka ini mencerminkan peningkatan volume produksi barang dan jasa di wilayah Kuningan.
Namun Yaya mengingatkan, indikator makroekonomi seperti ini tidak serta-merta menggambarkan kondisi mikro, terutama daya beli dan kesejahteraan rumah tangga.
“Saya sering turun ke lapangan, berbicara dengan pelaku UMKM, petani, dan pedagang kecil. Banyak yang mengeluh harga bahan baku naik, biaya hidup meningkat, tapi pendapatan tidak ikut naik. Jadi, kalau bicara pertumbuhan, harus jujur: tumbuh untuk siapa?” ujarnya menegaskan.
Berdasarkan analisis BPS, sektor konstruksi dan infrastruktur publik menjadi salah satu pendorong utama lonjakan pertumbuhan. Pembangunan jalan antar kecamatan dan proyek strategis daerah dinilai meningkatkan aktivitas ekonomi.
Selain itu, sektor perdagangan dan jasa juga menunjukkan pemulihan cepat setelah masa pandemi.
Namun bagi Yaya, laju sektor besar seperti infrastruktur dan proyek publik sering kali tidak menetes langsung ke masyarakat bawah.
“Yang tumbuh itu sektor yang dibiayai APBD atau proyek-proyek besar. Tapi sektor produktif rakyat kecil seperti pertanian dan UMKM sering kali hanya jadi penonton. Kalau tidak diintervensi lewat kebijakan afirmatif, jurang kesejahteraan bisa makin lebar,” ujarnya.
Politisi PKS itu menekankan, peran pemerintah daerah bersama DPRD bukan hanya mengejar pertumbuhan angka, tetapi memastikan agar pertumbuhan tersebut bermakna inklusif dan merata.
Ia mendorong agar Pemkab memperkuat kebijakan sosial, subsidi, dan pengendalian harga bahan pokok.
“Subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah harus dijaga. Pengendalian harga pangan dan energi juga wajib dilakukan supaya pertumbuhan ini tidak jadi angka kosong. Kita butuh kebijakan yang membuat rakyat kecil ikut menikmati hasil pertumbuhan,” jelasnya.
Yaya menambahkan, pertumbuhan ekonomi seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat transformasi ekonomi lokal, bukan ajang klaim keberhasilan sepihak.
“Saya mengapresiasi kerja keras pemerintah dan masyarakat, tapi pertumbuhan ini jangan dijadikan alat pencitraan. Gunakan sebagai momen memperbaiki struktur ekonomi agar lebih berpihak pada rakyat kecil,” kata dia.
Dalam pandangannya, arah kebijakan daerah ke depan perlu lebih fokus pada investasi padat karya, penguatan UMKM, dan pariwisata berkelanjutan.
Selain itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi kunci agar Kuningan tidak hanya tumbuh secara kuantitatif, tetapi juga kompetitif.
“Pertumbuhan 10,4 persen itu harus jadi loncatan, bukan sekadar angka. Dorong investasi padat karya, kembangkan pariwisata berbasis potensi lokal, dan tingkatkan kualitas SDM. Tanpa itu, pertumbuhan hanya menguntungkan segelintir pihak,” ungkapnya
Yaya juga menyoroti perlunya sinkronisasi data dan komunikasi publik antara Pemkab dan BPS agar masyarakat memahami konteks pertumbuhan ekonomi secara utuh.
Menurutnya, masih banyak warga yang salah mengartikan pertumbuhan ekonomi sebagai peningkatan langsung pada taraf hidup.
“Pemerintah harus menjelaskan bahwa pertumbuhan tinggi bukan berarti semua orang langsung sejahtera. Bisa jadi ekonomi tumbuh karena produksi meningkat, tapi distribusi hasilnya belum merata,” tuturnya.
Ia pun mengingatkan agar pemerintah tidak defensif terhadap kritik publik. Justru, menurutnya, keterbukaan terhadap kritik adalah bagian dari akuntabilitas.
“Pertumbuhan ekonomi 10,4 persen bukan angka tanpa makna, tapi jangan juga dijadikan tameng. Itu hasil kerja kolektif antara masyarakat dan pemerintah dalam memulihkan ekonomi pasca pandemi. Yang perlu dilakukan sekarang adalah memastikan pertumbuhan ini berlanjut dan benar-benar memberi manfaat bagi seluruh rakyat Kuningan,” pungkasnya.





