Sebagai anggota masyarakat yang peduli, saya sangat prihatin terhadap masalah pelecehan seksual yang terus terjadi di institusi Kabupaten Kuningan. Survei Komisi Nasional Perempuan menunjukkan bahwa satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan seksual dalam berbagai institusi. Pelecehan ini bisa berupa komentar tidak pantas, catcalling, dan sentuhan fisik yang tidak diinginkan. “Bercanda dengan nuansa sensual kadang dinormalisasi, menjadikan perempuan sebagai objek,” ungkap seorang aktivis.
Kondisi di Kuningan semakin memprihatinkan, dengan kasus pelecehan seksual yang meningkat. Salah satu contoh terbaru adalah dugaan pelecehan seksual oleh seorang petugas Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) di acara Bimtek KPU, yang menunjukkan bahwa pelecehan seksual bisa terjadi di lingkungan profesional. “Pelecehan seksual tidak akan ditoleransi,” tegas Ketua KPU Kuningan.
Tingginya jumlah kasus yang tidak dilaporkan menciptakan siklus berbahaya, di mana korban merasa tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan. Meskipun ada UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, implementasinya masih rendah. “Banyak institusi belum memiliki kebijakan jelas tentang penanganan kasus ini,” kata seorang peneliti.
Komposisi Komisi VIII DPR RI yang didominasi laki-laki juga menghambat diskusi isu ini. Institusi di Kuningan perlu meningkatkan kesadaran akan pentingnya menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi perempuan. Pemerintah daerah harus tegas menegakkan hukum dan memberikan sanksi bagi pelaku.
Kita semua memiliki tanggung jawab untuk membangun budaya saling menghormati. Mari bersatu melawan ketidakadilan ini dan mendukung mereka yang berani berbicara. Sudah saatnya kita mengambil tindakan nyata untuk mengatasi pelecehan seksual dalam institusi! [Dahana]