CiremaiNews.com, Kuningan – Di Tengah situasi politik yang mulai menghangat, Pendeta Yayan Heryanto S.Si yang kerap disapa Ki Pandita, saat ini bertugas di Gereja Kristen Pasundan Bethesda-Majalengka, mengajak semua pihak untuk menjaga ketenangan dan kedamaian dan saling menghormati dengan adanya pilihan yang berbeda.
“Pemilihan pemimpin bukan hanya soal siapa yang menang, tetapi juga tentang bagaimana kita tetap konsisten menjaga kedamaian di tengah perbedaan,” kata dia.
Ditegaskannya kembali, menjelang pilkada penting bagi semua elemen Masyarakat supaya tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang dapat memecah-belah kerukunan.
Ki Pandita juga mengingatkan akan bahayanya black campaign, yang tidak bisa dihindari dalam konteks pemilu. “Serangan yang merusak, pribadi dan keluarga dari setiap calon, hanya akan menimbulkan gesekan sosial yang berpotensi menciptakan permusuhan. Kita diajarkan untuk mengasihi sesama, bukan menciptakan kehancuran,” jelas Ki Pandita.
Ia menekankan informasi yang menyesatkan tidak hanya merugikan individu, tetapi juga mencederai integritas Masyarakat. Dalam percakapan tersebut, ia membagikan pengalaman pribadinya tentang pentingnya dialog dan saling memahami dan menghargai antar umat beragama.
“Kita harus ingat bahwa keberagaman adalah kekuatan. Jadi, mari kita gunakan energi keberagaman ini untuk memperkuat persatuan dan membangun benteng kerukunan,” ungkapnya.
Pada momen kesempatan lain, saat berbincang santai di wilayah Kota Cirebon, Ki Pandita mengakui dalam dunia politik sangat erat dengan perubahan ekonomi, sosial-budaya. Secara ekonomi ada political cost, yaitu besarnya biaya untuk mencalonkan diri sebagai pejabat dan dana yang dibutuhkan untuk mempertahankan jabatan yang sudah ad.
“Sisi ini merupakan bagian yang sering kecolongan, dan berubah menjadi, political transaction costs. Ongkos politik itu tidak murah, ditambah jika ada transaksi didalamnya,” sambungnya.
Ia mengingatkan dan mewanti-wanti, agar masyarakat bijak, jika memang biaya politik itu besar, maka niatan untuk bertransaksi dengan para calon tidak dijadikan aji mumpung.
“Justru sebagai rakyat, kita perlu menyadari baik biaya politik atau transaksi politik, dapat bermuara pada penyalahgunaan wewenang kekuasaan dan korupsi di kemudian hari,” kata dia.
Ki Pandita menambahkan tiap calon pejabat memiliki anggarannya masing-masing yang kita sebut dengan, political cost. Bisa berasal dari kekayaan-aset pribadi, dukungan keluarga bahkan suntikan oligarki. Bila biaya pertarungan membengkak, lalu apa yang terjadi? Jual aset, berhutang pada keluarga dan terjadilah transaksi dengan oligarki.
“Jika menang dalam pertarungan, tentu ada Impian supaya setiap jengkal aset yang dahulu terjual dapat kembali. Hutang kepada keluarga harus dilunasi. Jasa oligarki yang ikut cawe-cawe, ditukar dengan kepentingan,” tandasnya.