“Aku pikir, takdir bergulir, berputar, atau berjalan lurus. Aku tidak bisa menerkanya atau bahkan mengendalikannya sama sekali. Sekalipun aku sangat ingin dan terus berupaya untuk mengubahnya. Akhirnya, aku memutuskan untuk menyerah saja.”
(Ki. Pandita)
Gerimis kecil menghancurkan gumpalan debu yang telah lama membeku. Bunga mahoni mulai beterbangan. Kau boleh merindukan gerimis atau hujan, tetapi jangan terlalu dalam, sebab itu bisa menikam jantungmu sehingga sulit untuk bernafas karena bertumpuknya ingatan. Bersyukurlah jika sebagian ingatanmu mulai rapuh dan banyak melupakan, sebab itu membebaskan mu dari peristiwa menyakitkan. Mari kita belajar melupakan, seperti kebanyakan mereka yang menua dan menjadi pikun. Aku pun mulai pikun, tapi tidak tentang dirimu.
Fuad mengambil cincin pertunangannya dari dalam laci meja. Beberapa bulan belakangan, ia jatuh cinta pada Suci. Banyak malam dan pagi telah dilalui berdua dalam ruang-ruang yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Hanya hati yang bisa mendefinisikannya. Di depan laptop yang tidak terlalu tua, Fuad membantu Suci merampungkan skripsinya. Jari-jemarinya menari pada tombol-tombol keyboard untuk menuliskan hipotesis. Ada waktu di mana jari-jemarinya saling bersentuhan dan menggenggam dengan sengaja. Selayaknya bulan dan bintang, adakalanya mereka saling mencuri pandang dalam malam yang panjang.
Hanya saja, seperti banyak bintang bertaburan di langit, begitu juga dengan pilihan-pilihan. Takdir serupa narasi yang memiliki argumentasi yang kadang dapat dituliskan, dan sebagian hanya merupakan catatan kaki saja. Bagaimana menjelaskannya? Sebab takdir tidak dapat dikendalikan, begitu juga hati manusia.
Fuad menatap dinding kamar yang mulai terkelupas dan kusen-kusen yang rapuh terkikis waktu. Suci sudah merampungkan skripsinya, dan seperti janji sepasang merpati, esok adalah waktu untuk mengikat semuanya supaya lebih jelas. Cincin yang sudah dibeli, digenggam erat dalam pelukan kedua tangan. Gemuruh dada bersautan dengan suara knalpot motor yang lalu-lalang dan pedagang siomay yang tidak henti mendorong gerobaknya. Fuad menyeberang jalan dengan seribu angan terbawa angin, sebab cincin itu harus segera diberikannya kepada Suci. Dipasangkannya pada jari manisnya, sebagai bukti sah sebuah takdir.
Di halaman parkir Alfamart, Fuad menunggu. Tempat yang sudah dijanjikan untuk bersua walau sesaat saja. Suci tidak pernah datang. Ia sudah memilih bagian takdirnya. Ada lelaki lain yang berdiri di persimpangan jalannya. Fuad sadar betul akan hal itu, tetapi ia tetap menunggu. Menggenggam erat kotak cincin supaya tidak terpuruk bersama kerikil tajam. Mematung dalam bisu, menahan desiran dingin yang merasuk pada ujung-ujung saraf.
Sebenarnya, Suci ada di sana, di seberang jauh, tersembunyi. Tersenyum getir dengan mata yang pecah berurai, terhalang debu. Memilih yang lebih baik adalah keinginan setiap perempuan. Fuad bukan yang terbaik, dan itu harus dikatakan dengan jujur, sebelum semuanya terlanjur. Bersama tiupan angin kemarau yang kering, Suci menghilang pergi, menutup semua kontak dan kenyataan yang pernah ada. Lalu hujan kecil turun bersamaan dengan riuh guntur.
Di bawah pohon mahoni, di sela akar-akarnya yang menyeruak, Fuad menguburkan kotak cincin pertunangan itu. Saat bunga-bunga mahoni jatuh beterbangan, ada rasa pahit yang selalu dirasakan pada udara yang tercium dalam hempasan napas.
Berbeda dengan Suci, perempuan selalu dapat menyembunyikan perasaannya dan menyimpan banyak nama untuk dikenang. Tidak akan diceritakannya sampai akhir hayat, bahkan kepada yang dicintainya. Entah untuk menjaga sebuah hati atau untuk kerapuhan yang tidak ingin diketahui oleh siapa pun. Pilihannya jelas, ada takdir yang lebih baik. Apakah kamu bisa mengerti? Sudah, lupakan saja.
Untuk Bude Fuad dan Suci
Saat hujan tiba, September 2024.